Ceria di Rumah Saja

 

Ceria di Rumah Saja

Oleh: Merlin Nursmila

 


Wabah Covid-19 sudah menyebar ke seluruh nusantara. Daerah Jawa sendiri masuk ke dalam kategori tiga besar zona merah. Tak terkecuali dengan Kota Kebumen di Jawa Tengah yang masuk dalam daerah rawan corona.

Pandemi sudah tujuh bulan menjadi batas gerak aktivitas setiap insan. Setiap hari, jumlah pasien positif bertambah. Ruang isolasi rumah sakit yang ada sudah penuh hingga sebagian pasien dirujuk ke luar daerah.

Aku mengembuskan napas mendengar berita terbaru tersebut. Semakin hari, makhluk tak kasat mata ini menjadi bayang-bayang. Terlebih, terdengar kabar bahwa tetangga belakang rumah dinyatakan positif terjangkit Mas Covid.

“Mas, mulai malam ini akan diberlakukan lockdown wilayah. Semua gang ditutup. Kita juga diimbau untuk menjalani isolasi mandiri karena tadi pagi ibu melakukan kontak fisik dengan salah satu keluarganya di warung. Bukan hanya keluarga kita, tapi sebagian warga di RT sini,” jelasku panjang lebar pada suami setelah menerima penjelasan dari ketua RT.

In syaa Allah, tidak apa-apa,” jawab suami yang pulang kerja langsung menerima berita kurang menyenangkan.

Aku tersenyum. Meski hati was-was, tapi pikiran sedikit tenang karena bahan makanan diperhitungkan cukup selama menjalani isolasi mandiri.

In syaa Allah, kita semua sehat,” ucapku meyakinkan diri juga anggota keluarga.

Malam ini, kami merasakan suasana yang berbeda dari biasanya. Hening. Tidak ada kendaraan lalu lalang di depan rumah atau suara orang lewat. Suara jangkrik ataupun orong-orong pun tak ada karena memang belum musimnya.

Bahkan, televisi di ruang keluarga pun mati. Ibu dan bapak berada di kamar masing-masing. Mereka sama-sama menjaga jarak. Sungguh, kebingungan dan kekhawatiran melanda.

Aku harus punya rencana baru! Di rumah saja bukan berate mati kutu.

Aku bangkit mengambil laptop dan menyalakannya. Otak berpikir mau memulai sesuatu baru yang menyenangkan dan bermanfaat.

“Mas, aku mau belajar desain. Tolong, ajari cara menggunakan corel,” pintaku pada suami.

“Ayo, Dik. Kita mau buat apa, nih?”

“Poster sederhana dulu.”

Aku memang biasa melihat suami asyik membuat desain-desain dengan aplikasi coreldraw ataupun adobe photoshop. Namun, diri ini baru sebatas senang melihat dan menikmati hasilnya. Belum ada rasa ingin belajar. Malam ini, entah mengapa keinginan belajar itu ada.

Alhamdulillah, kami bahagia beberapa jam ke depan bermain dengan aplikasi desain yang lumayan rumit ini. Suami cukup telaten mengajari istrinya yang masih nol besar. meski tak jarang, akhirnya suami yang mengambil alih karena aku menyerah lebih dulu. Akan tetapi, kegiatan ini berhasil mengantar kami dalam mimpi yang indah tanpa bayang-bayang ketakutan yang berlebih.

rona mentari

embun pagi menguar

merajut asa

Haiku pagi untuk menyambut hari. Tidak seperti biasanya, jam tujuh pagi kami masih berada di rumah. Melakukan pekerjaan bersih-bersih setiap sudut dan merapikan perabotan kembali. Hingga menjelang siang, kami pun mengakhirinya dengan tidur siang yang nyeyak. Satu hal yang jarang dilakukan jika ada pekerjaan di luar rumah.

Tiga hari berlalu. Kegiatan masih sama. Kami menjalani hari dengan aktivitas seputar membersihkan lingkungan rumah dan merapikan kandang kelinci. Di sela-sela waktu, membaca dan belajar corel masih dilanjutkan. Sayangnya, tekadku belum terlalu kuat dan serius sehingga di kemudian hari sudah tidak pernah memegang corel lagi.

“Asyik banget, Dik,” komentar suami saat melihatku seru sendiri dengan gawai.

“Ini, kakak tanya tentang kondisi dan kebutuhan sehari-hari.”

“In syaa Allah, masih cukup, kan?”

“Iya. Ini malah Mbak Bos menawarkan bantuan. Memintaku untuk memakai uang percetakan dulu jika dompet kita menipis,” kataku memberitahu suami.

“Sebaiknya jangan, Dik. Bagaimanapun juga, itu bukan uang kita. Uang milik customer yang harus kita jaga amanahnya,” saran suami.

“Iya, Mas. In syaa allah, kalau seratus lima puluh ribu masih ada, kok. Cukup buat beli sayuran atau tempe,” jawabku setuju.

Seminggu berlalu dengan di rumah saja. Keadaan dompet juga semakin menipis. Apalagi pekerjaanku dan suami adalah pekerja lepas yang dibayar berdasar jumlah hari kerja, itu pun jika ada kerjaan. Namun, kami tetap optimis menjalani hari. melakukan kegiatan bersama-sama sebagai quality time sepenuhnya.

Sebagai insan mukmin, memang sudah sepantasnya untuk berhusnuzan kepada Allah. Jangan lelah berdoa dan meminta. Selalu yakin jika pertolongan Allah itu dekat sesuai janji-Nya. Sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

“Alhamdulillah, ya Allah!” seruku girang sambil mengakhiri acara zoom meeting dengan sebuah komunitas menulis di Kebumen.

“Selamat, ya, Dik,” ucap suami sambil beralih dari layar monitor dan keasyikannya berselancar di aplikasi coreldraw. Ia bangkit dan mendaratkan kecupan mesra sambil memelukku.

“Alhamdulillah. Terima kasih, Mas. Aku enggak nyangka terpilih jadi juara tulisan terbaik di urutan ketiga. Padahal sudah pesimis karena jumlah like postingan sedikit, tapi ternyata ada kategori juara pilihan juri berdasarkan isi tulisan,” terangku dengan mata berbinar.

Lomba menulis narasi perjalanan tentang “Ceritaku untuk Kebumen” sudah dilaksanakan Agustus lalu. September menjadi ceria dengan pengumuman pemenang saat aku dan keluarga sedang melakukan isolasi mandiri.

“Alhamdulillah, ada transferan masuk sejumlah satu juta rupiah, Mas. Memang, pertolongan Allah itu selalu datang tepat pada waktunya,” kataku pada suami setelah menerima notifikasi pesan dari panitia.

Kami bersyukur tak henti diiringi zikir memuji asma Allah yang memiliki rezeki luas tak terbatas. Uang ini cukup banyak bagi kami. Alhamdulillah, bisa untuk menyambung hidup kala diisolasi.

Kini, semangatku untuk berkarya kembali tersulut. Menulis kembali menjadi aktivitas rutin di rumah. Alhamdulillah, bisa fokus mengerjakan beberapa naskah dan mengirimkan ke media. Bahkan, selama di rumah saja, ada tiga ratus halaman naskah yang selesai kusunting.

Inilah passion yang menambah kecerian di bulan September ketika menghadapi pandemi dengan di rumah saja. Tetap produktif dalam menjalani hari-hari. Apalagi, di bulan ini, aku pun baru memulai perkuliahan di Kelas Bunda Sayang batch 6. Keberadaan suami yang sedang tidak bekerja menjadi partner dalam menjalankan tantangan komunikasi produktif.

Kami sangat bersyukur dan berterima kasih pada Ibu Profesional. Pasalnya. Lima tahun sudah kami menikah, tapi baru tahu tentang bahasa kasih. Jadilah kami mempraktikkannya sebagai jawaban tantangan komunikasi produktif. Hasilnya, kami lebih bahagia karena sudah mengetahui bahasa kasih masing-masing. Menjadi tahu bagaimana cara mencintai pasangan dengan tepat.

Jawabannya, quality time adalah salah satu bahasa kasih yang kami miliki. Jadi, September semakin ceria di rumah saja. Banyak hal seru yang bisa kami lakukan bersama. mulai dari belajar mendesain, menulis karya, sampai berkebun yang sedang menjadi hobi baru suami. 

So, we are happy at home!

 

 

#FestivalSemangatCeria

#SemestaKarya

#IbuProfesionalChallenge

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Usul Burung Walet

Pelatihan Jurnalistik

Ibu Wajib Mengajarkan Al Fatihah Kepada Anaknya