Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

Ceria di Rumah Saja

Gambar
  Ceria di Rumah Saja Oleh: Merlin Nursmila   Wabah Covid-19 sudah menyebar ke seluruh nusantara. Daerah Jawa sendiri masuk ke dalam kategori tiga besar zona merah. Tak terkecuali dengan Kota Kebumen di Jawa Tengah yang masuk dalam daerah rawan corona. Pandemi sudah tujuh bulan menjadi batas gerak aktivitas setiap insan. Setiap hari, jumlah pasien positif bertambah. Ruang isolasi rumah sakit yang ada sudah penuh hingga sebagian pasien dirujuk ke luar daerah. Aku mengembuskan napas mendengar berita terbaru tersebut. Semakin hari, makhluk tak kasat mata ini menjadi bayang-bayang. Terlebih, terdengar kabar bahwa tetangga belakang rumah dinyatakan positif terjangkit Mas Covid. “Mas, mulai malam ini akan diberlakukan lockdown wilayah. Semua gang ditutup. Kita juga diimbau untuk menjalani isolasi mandiri karena tadi pagi ibu melakukan kontak fisik dengan salah satu keluarganya di warung. Bukan hanya keluarga kita, tapi sebagian warga di RT sini,” jelasku panjang lebar pada suami

Rahasia Internal

Gambar
  Rahasia Internal Dalam negara suami istri, setiap ada tantangan itu diharapkan tidak keluar kamar. Apapun yang terjadi, usahakan hanya berdua yang tahu. Jangan diumbar meski pada orang tua sendiri. Namun, bagaimana jika kita harus sembunyi-sembunyi terus dari orang tua? Pikirkan baik dan buruknya. Begitu pun hari ini. Saya diminta menemani bulik yang kondisinya sedang kurang sehat. Sedangkan Mamak sendiri masih proses pemulihan. Saya dan sepupu berbicara di belakang, berjanji tidak saling cerita kondisi orang tua. Semua demi kesehatan mereka yang tidak bisa banyak pikiran. Apalagi kondisi juga belum sehat betul. Akhirnya, saya izin pada suami untuk menemani bulik. Setelah bertemu dengan adik ibu yang tinggal bulik ini saja, hatiku trenyuh. Kondisinya sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Padahal belum lama juga kami bertemu. Di sini, saya mengajaknya berbicara apa saja untuk menghibur hati. Akan tetapi, satu hal yang tak perlu diungkit, yaitu tentang 'penyakit'. Ngobrol apa saj

Biarkan Dia Memilih

Gambar
 Biarkan Dia Memilih Komunikasi internal kami memang masih seputar pekerjaan. Ya, aku meminta suami untuk memulai usaha saja daripada menjadi karyawan.  "Mas, kenapa enggak mencoba untuk dagang lagi? Bukankah kata Allah, sebagian besar rezeki itu berdagang?" Suami diam. "Nanti berkeliling saja. Hari ini di pasar mana, besok mana, dan seterusnya. Menjemput bola," kataku melanjutkan. Suami masih bergeming. "Mas?" "Iya, Mas mendengarkan." "Mas malu, ya? Jika harus berdagang." "Kurang sreg rasanya. Mungkin kalau menanam malah lebih suka." "Oh, oke. Enggap apa-apa kalau Mas mau bercocok tanam. Mau jenis apa?" "Sayuran sama buah, mungkin." "Organik atau hidroponik? Kalau organik bisa belajar dari Mr. Green. Nanti aku bantu komunikasikan. Atau Mas ada pandangan lain?" "Ya, minta tolong sampaikan ke Mr. Green dulu." Aku melakukan apa yang suami minta. Qodarulloh, Mr. Green belum berkenan untuk s

Tolak Menolak Bukan Tarik Menarik

Gambar
 Tolak Menolak Bukan Tarik Menarik Pagi ini, di pekarangan belakang milik tetangga sangat ramai. Sekelompok burung bertengger dengan siulannya yang merdu. aku dan suami yang berada di sumur menikmatinya dengan bahagia. "Bagus seperti itu daripada melihat di sarang," komentar suami. "Iya. Burungnya bebas. Lihatlah, mereka mungkin sedang mengajari anaknya terbang," kataku sambil menunjuk beberapa burung kecil yang terbang dari ranting ke ranting. Terlihat tiga ekor burung dewasa terus mengawasi dan berkicau. Sungguh pemandangan yang langka. Setelah puas memandang, aku melanjutkan mengucek pakaian kotor dan suami membantu membilasnya. Di sinilah kami bisa mengobrol santai tanpa ada yang mendengar, mungkin. Sebab ibu, bapak, dan adik ada di dalam rumah. "Mas, hari ini rencana mau ke mana?" "Ya nanti cari-cari lagi." "Mungkin memang tidak mudah untuk cari kerja sekarang apalagi yang tetap. Semua memilih yang usia produktif. Kalau bisa, mending bu

Selftalk

Gambar
 Selftalk Bangun tidur kuterus mandi. Eh, bukan. Alhamdulillah, membuka mata sudah dalam kamar sendiri. Mamak sudah pulang dari rumah sakit. Jadi, aku tak perlu meninggalkannya sendiri. Namun, pagi ini badan rasanya tidak nyaman. Membuat hilang semangat. Padahal jadwal aktivita mengular dari pagi sampai sore. Mau tak mau, aku harus bangun mengerjakan rutinitas di rumah lebih dulu. Ah, melihat pakaian dua ember yang menggunung, rasanya tangan ini tak tertarik menjamahnya. Namun, tetap saja kulakukan mengucek pakaian itu. Setelah semua beres, langsung saja bersiap diri. Dalam salat dhuha pagi ini, perasaan benar-benar tidak nyaman. Lelah luar dalam. Rasanya ingin menangis juga menjerit. "Bahagia, bahagia, dan selalu bahagia. Lancar, lancar, lancar. Semua untuk ibadah." Aku mengulang kata-kata itu. Menjadikan mantra pagi ini. Kupaksa masuk ke dalam hati dan pikiran agar aku lebih ringan untuk melangkah. Bukankah Allah seperti prasangka hamba-Nya? Siapa diriku juga akan terlihat

Ilmu Titen

Gambar
 Ilmu Titen Ahad bahagia. Alhamdulillah, bangun tidur dengan kesegaran. Semalam tidur dengan kualitas cukup. Mamak pun sejak diberi obat suntik melalui selang infus bisa tidur dengan tenang. Tidak terbangun dengan sering. Semua dirasa sudah membaik tanpa keluhan. "Sehat ya, Mak? Bisa tidur pulas." "Alhamdulillah. Perut juga sudah tidak perih dan mual." Aku memegang perutnya yang sudah tidak keras. Lalu menanyakan satu per satu anggota badannya, bagian mana yang masih kurang nyaman. Alhamdulillah, nihil. Berbeda dengan pasien di sebelah. Gadis lulusan SMP yang didiagnosa typus. Sebabnya sepele, dia sembunyi-sembunyi makan seblak pedas. Padahal sebelumnya sudah opname gejala typus. "Mak, kalau aku yang sakit enggak dielus gitu, ya? Malah ditantang sekalian. Ayo, masih kurang, enggak? Beli lagi  yang banyak," kataku sambil melihat ibu si gadis yang begitu telaten mengelus dan mengusap putrinya yang terus-menerus merengek. "Iyalah," jawab Mamak singk

Sawang Sinawang

Gambar
 Sawang Sinawang Sehari semalam sosok itu terbaring di ranjang kecil ukuran sekitar 110 X 120 cm. Nuansa putih mendominasi ruangan seluas 3 X 4 meter. Tiga ranjang berbaris rapi, tapi hanya terisi dua penghuni saja. Bagian tengah beralih fungsi sebagai pembatas agar saling menjaga jarak. Wajah wanita tangguh di hadapanku terlihat sembab dengan pancaran sayu. Selang infus membatasi gerak bebasnya. Rasa pening menjadi tantangan. "Wahai, Mamak. Apa lagi yang kau rasakan?" batinku menelisik, memandang seluruh fisiknya. Kedua matanya memandangku. Diam. "Masih pusing, Mak?" "Enggak. Cuma di antara alis ini yang sakit." "Mamak mikir apa, kok bisa tinggi lagi. Kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri." "Mamak pengin nangis rasanya. Enggak tahu kenapa, dari kemaren pengin nangis." "Nangis sajalah, Mak. Jangan ditahan apalagi dipendam. Nanti enggak baik." "Masa enggak ada apa-apa, tiba-tiba nangis." "Ya enggak apa-apa. K

Multitasking

Gambar
 Multitasking Entah, pagi ini rasanya seperti terburu-buru. Bangun tidur yang agak kesiangan, lanjut ibadah pagi, dan tidak sempat mengobrol santai berdua dengan suami. Saya lanjut bercumbu dengan bumbu-bumbu di dapur. Merebus air untuk menyeduh dua cangkir kopi, disambi dengan mencuci beras untuk diliwet. Setelahnya, membuat nasi goreng dan menggoreng ikan untuk lauk. Acara memasak kelar, lanjut membersihkan perkakas tempur.  Ponakan terbangun dan langsung mengekor ke mana saya melangkah. Akhirnya, saya minta dia mencuci muka dan merapikan bantal. Kemudian saya ambilkan nasi untuk disuapi sekalian sarapan bersama. Ibu sudah rapi dan siap pergi ke puskesmas untuk prolanis rutin. Suami setelah selesai menyapu dan ikut sarapan, berseru dari dapur. "Dik, airnya sudah mendidih. Mau buat apa?" "Mandiin ini anak satu. Tolong, Mas masukin ke ember, ya?" jawab saya dari ruang depan. Makan pun dengan banyak drama. Ponakan saya ini memang tidak mudah untuk makan, apalagi deng

Me Time

Gambar
  Me Time Oleh: Merlin Nursmila   Pagi ini, kami menjalankan peran masing-masing dalam urusan rumah tangga. Saya bercumbu dengan bumbu sayur asam dan lainnya di dapur. Setelahnya segera beralih ke sumur untuk membersihkan piranti masak yang diapkai. Sedangkan suami, asyik membersihkan kandang kelinci dan memberinya makan. Kemudian membersihkan bak penampung air dan mengisinya dari sumur tetangga. Sebab, air sumur di rumah warnanya kurang jernih jika musim pancaroba. Obrolan pun mewarnai pagi ini. “Mas, seberapa penting arti me time untukmu?”tanya saya sambil menggosok pantat panci. “Waktu untuk keluarga jelas pentinglah, nomor satu,” jawabnya pasti. “ Me time , Mas. Bukan family time . Me time itu waktu untuk sendiri, melakukan sesuatu sendirian, tanpa ada yang mengganggu.” “Oh.” “Jadi, menurutmu seberapa penting, Mas?” “Hmm, 20% saja lah.” “Berati 80% untuk keluarga? Mas lebih suka berdua, ya?” Suami hanya tersenyum. “Kalau Mas pas sendirian, lebih suka mel

Saling Jatuh Cinta

Gambar
  Saling Jatuh Cinta Oleh: Merlin Nursmila   Wow, keren! Akhirnya kami menemukan bahasa kasih masing-masing. Lima hari mempraktikannya. Namun, hasilnya menjawab untuk lima tahun waktu pernikahan yang terlewat. Ma syaa Allah , luar biasa! Pagi ini, usai salat shubuh kami terdiam dan saling memandang. Pandangan yang penuh arti dan hanya bisa dirasakan dalam hati. “Jadi, Mas lebih memilih sentuhan fisik, ya?” Suami mengangguk. Tersenyum. “Kenapa? Mas lebih bahagia jika disentuh?” “Iya. Lebih merasa dicintai daripada bahasa kasih yang lain.” Kami saling berpelukan. Mengalirkan kehangatan dan membiarkannya menjadi energi positif untuk mengawali hari. “Maaf, ya, Mas. Saya lebih suka dilayani jika harus melayani.” Saya mengucapkan kejujuran. “Ya enggak apa-apa. Mas menikmati dan selalu mencoba untuk mengerti, kok, Dik.” Sekali lagi kami tersenyum puas. Ada rasa bahagia yang hadir dengan hati yang plong. Seakan ada hal yang terbebas. Kini, semua yang dibutuhkan telah disamp

Keseruan Berbagi Peran

Gambar
  Keseruan Berbagi Peran Oleh: Merlin Nursmila   Pagi ini, kami menerapkan bahasa kasih kelima yaitu acts of service. Masing-masing akan memberikan pelayanan, apa yang dibutuhkan antar pasangan. Suami yang lebih dulu bangun pasti akan membangunkan saya. Kemudian ia akan melipat selimut dan merapikan tempat tidur. Usai salat shubuh berjamaah, suami memijat kening dengan mesra sambil memandang wajah sang istri. Tentu saja, saya senang dan menikmatinya. Kebaikannya dibalas dengan menyuguhkan secangkir kopi dan membuatkannya sarapan. Saat mentari mulai menyapa, kami pergi ke pasar tradisional untuk berbelanja bersama dan mencari bubur untuk sarapan bapak yang sedang kurang sehat. Sampai rumah, suami bergegas mencuci piring dan saya membereskan barang belanjaan. Kemudian suami menemani ponakan sebentar, sedangkan saya yang memberi makan kelinci. Berbagi dan bertukar peran bagi kami sudah biasa. “Apa yang Mas rasakan saat melakukan itu semua? Membantu mengerjakan pekerjaan r

Bahagia Itu Tidak Mahal

Gambar
  Bahagia Itu Tidak Mahal Oleh: Merlin Nursmila   Siapa sih, orang yang tidak suka dengan hadiah? Pasti semua suka. Hanya saja level kebahagiaan yang dipancarkan berbeda-beda antar individu. Saya sendiri senang jika menerima hadiah. Apalagi didapat dengan perjuangan. Kemaren, saya mendapat paketan dari sebuah komunitas literasi. Isinya adalah dua buku keren karya Dodi Mawardi, satu novel terjemahan dari bahasa Spanyol, tiga pulpen soft gel dengan taksiran harga yang tidak murah, serta satu lembar sertifikat penghargaan. Apa yang saya lakukan pertama kali? Tentu membukanya. Apalagi kertas pembungkusnya memesona dan khas Indonesia. Kertas batik yang menarik, lho. Setelah dibuka dan tahu isinya, saya letakkan kembali buku-buku itu. Menunggu antrean untuk dibaca. Pagi ini, saya akan mempraktikkan bahasa kasih yang keempat yaitu tentang memberi hadiah. Tak mau ambil pusing apalagi harus menunggu sampai sore setelah suami pulang kerja, saya pun berpikir cepat. Akhirnya, satu pul