LITERASI LINTAS GENERASI

 

LITERASI LINTAS GENERASI



Hidupnya dari menulis. Dapurnya pun mengepul dari menulis. Sebut saja sebagai koki aksara. Terjun ke dalam dapur literasi sejak puluhan tahun lalu. Meramu diksi demi diksi hingga tercipta lebih dari tujuh puluh buku. Salah satunya berjudul Belajar Goblog dari Bob Sadino. Buku yang sudah beberapa kali naik cetak sejak keluar di tahun 2009 dari oven penerbit.

Tangannya sudah handal mencampur formula dasar menulis. Bumbu-bumbu 5W+1H menjadi resep kunci. Berbagai bahan majas telah diraciknya. Hingga selama lima belas tahun, barulah ditemukan racikan gayanya yang sangat khas. Kini, sang koki telah menaikan derajat ilmunya menjadi asesor profesi penulis dan editor di Jakarta. Dialah Dodi Mawardi. Pendiri Sekolah Menulis Kreatif.

Kalau kamu belum kenal, tanya saja sama simbah google. Dia itu orang hebat, pasti banyak ulasan yang membahas. Coba kalau nama kamu sendiri yang diketik. Apa hasilnya? Jangan-jangan cuma status postingan di media sosial. Malu kan?

Untuk menutup rasa malu, maka tulislah status-status bermanfaat. Siapa tahu dari status jadi buku. Pasti keren. Jangan cuma curhat yang ditulis jika facebook bertanya; “Apa yang Anda pikirkan?” Tidak usah mengunggah foto jika diimbuhi caption galau. Buatlah kutipan-kutipan menarik yang memotivasi. Pasti banyak yang suka dan terinspirasi.

Masih mau beralasan menulis itu tidak mudah? Ah, itu alasan klasik. Kalau mau nulis, ya … nulis saja. Tulisan itu tidak ada yang buruk. Semuanya baik. Hanya saja, ada tulisan yang belum disunting. Jadi, tulisan itu belum bagus maksimal.

Kalau mau tulisannya keren, seringlah menulis. Semakin rajin berlatih, maka akan semakin baik kualitasnya.

“Nulis itu seperti naik motor atau mobil. Semakin sering mengendarainya, maka semakin mahir,” kata Dodi Mawardi.

Masih mau tahu bagaimana cara menulis yang baik? Oke, lanjut. Masih banyak resep rahasia dari Dodi Mawardi yang harus kamu tahu. Semua bersumber dari diskusi menulis yang diadakan oleh Umah Gombong melalui aplikasi zoom meeting.

Jadi, sebelum pengumuman pemenang dari lomba menulis “Ceritaku tentang Kebumen”, semua peserta mengikuti pelatihan menulis daring. Semua berkumpul menjadi satu dalam aplikasi zoom meeting. Ada penulis termuda usia sebelas tahun, usia produktif mulai enam belas hingga dua puluh empat tahun, sampai penulis yang sudah berusia lebih dari setengah abad.

Perbedaan usia bukan kendala untuk menulis dan menyampaikan aspirasi. Semua sama asal bisa nulis. Perbedaan hanya terletak pada gaya penulisan dan tema yang diangkat. Maka, dari lima puluh tiga peserta dibagi lagi menjadi dua kelompok kecil yang dibentuk berdasar perbedaan tersebut.

Ada kelompok Pantai Menganti sejumlah sembilan belas peserta yang mengangkat tema sosial politik di Kebumen. Di sini ada Dodi Mawardi dan Awigra yang akan membahas hasil tulisan peserta. Selanjutnya kelompok Karangsambung berjumlah tiga puluh empat peserta yang membahas bidang budaya dan pariwisata di Kebumen. Ada Sigit Kurniawan dan Frans Pascaries yang mendampingi diskusi.

Secara garis besar, pembahasan yang diangkat tentu saja mengenai topik tulisan masing-masing kelompok. Judul pelatihannya saja, belajar dari tulisan sendiri.

“Diskusi di grup Karangsambung cukup aktif. Bagus banget! Ternyata di Kebumen itu banyak orang-orang yang peduli dengan literasi. Aku baru tahu dan senang rasanya,” ungkap Nur Rani, salah satu peserta diskusi menulis Umah Gombong.

Selain Nur Rani, ada seorang aktivis pariwisata. Jebolan duta wisata Kebumen tahun 2019 ini berhasil menjadi juara kedua tulisan terfavorit, loh.

“Saya senang bisa diskusi bareng teman-teman. Kalau fokus bahasan memang mengupas garis besar tema yaitu bidang kebudayaan dan pariwisata. Saya jadi lebih terbuka karena mendapat pemikiran-pemikiran baru dari teman-teman. Selain itu juga mendapatkan bekal kepenulisan dari para juri.

Semoga Umah Gombong tetap berkompeten mengabdi untuk negeri. Khususnya di Kebumen sendiri pada bidang kepenulisan. Kebumen itu banyak potensinya. Umah Gombong harus turun secara mandiri dan terpadu membinanya,” terang Dwi Nur Faizal dengan semangat.

Sedangkan di Pantai Menganti ada bahasan apa, nih? Dari garis besar temanya, grup ini memang mengangkat bahasan yang tidak ringan. Peserta menyuarakan aspirasi masyarakat di sekitar terkait isu-isu nasional yang terjadi di Kebumen. Seperti mengenai kasus Urut Sewu yang belum tuntas sampai sekarang atau dilema masyarakat Desa Ayah dengan aktivitas penambangan batu kapurnya. Ada juga tentang protes warga Desa Sikayu dengan adanya pembangunan pabrik semen yang bisa merusak ekologi. Apalagi kawasan kars wilayah selatan di Kebumen masuk dalam daftar taman bumi nasional Karangsambung-Karangbolong.

Setelah mengupas tuntas mengenai isi tulisan, dewan juri memberikan rumus-rumus yang bisa diterapkan dalam menulis. Inilah saat yang ditunggu oleh teman-teman peserta lomba.

“Tuliskan apa yang kamu lakukan dan lakukan apa yang kamu tuliskan,” tegas Dodi Mawardi sebelum menjawab pertanyaan.

 “Apa formula yang digunakan dalam menyusun tulisan?” tanya Dwi Haryanto.

“Jangan pikirkan formulanya! Nulis dulu saja. Pada dasarnya, hal mendasar yang harus ada di setiap tulisan itu, ya elemen 5W+1H,” jawab Dodi Mawardi.

“Kalau ingin tulisannya tembus media cetak, bagaimana, Pak?” imbuh seorang peserta.

“Kamu harus mengenali karakter media tersebut. Isu apa yang biasa diangkat, gaya penulisannya bagaimana, target pembacanya siapa? Pelajari itu. Kalau sudah mengirim, tapi belum dimuat, ya … jangan berkecil hati. Unggah saja di media sosial. Jangan takut untuk menyuarakan pemikiran! Coba dan coba terus.”

“Pak, bagaimana tips melakukan ATM (amati, tiru, modifikasi) agar tidak dicap plagiasi?” tanya Sarifudin, peserta tercepat dalam pengumpulan naskah lomba.

“Tidak ada ATM yang plagiat. Sebagai penulis itu, ya harus mengamati dulu tulisan-tulisan orang lain untuk belajar. Kemudian tiru saja gaya menulisnya, tapi tetap harus dimodifikasi. Ubahlah ke gaya penulisan kamu sendiri. Setiap orang akan memiliki ciri khas model tulisannya.”

“Apa tips agar memiliki tulisan semakin berkualitas dan memenangkan lomba, Pak?”

“Pakailah ilmu penulisannya. Praktikan gaya menulis seperti bercerita. Kamu tahu kan, cerita itu tulisan paling baik di dunia. Jadi, beri dialog seperti menulis cerpen. Kemudian sampaikan gagasan terkuat, manfaat apa yang bisa diambil dari tulisan tersebut.”

Semua orang di dunia memang suka dengan cerita. Dari kecil sampai lanjut usia. Semua sama. Itulah mengapa buku-buku cerita lebih laris dibanding tulisan non fiksi. Juara tulisan terbaik pun jatuh pada pilihan narasi perjalanan yang disampaikan dengan cara bercerita.

“Naskah yang ditulis ini mengangkat tema krisis lingkungan yang cukup berat. Namun, penulis mampu menyampaikannya dengan gaya bercerita. Istilah penambangan batu saja dipersonifikasikan dengan pemecah batu,” ungkap Awigra, salah satu juri dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman.

“Naskah ini menggunakan bahasa yang sederhana. Cerita tentang kisah manusia seperti ini tidak akan ditemukan pada jurnal atau buku pelajaran,” imbuh Frans Pascaries, seorang penulis dan penerjemah.

Jadi, ceritakan hidupmu agar anak cucu mengenal siapa kamu. Torehkan sejarahmu melalui tulisan agar namamu tetap abadi.

#UmahGombong

#Kebumen391

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Usul Burung Walet

Pelatihan Jurnalistik

Ibu Wajib Mengajarkan Al Fatihah Kepada Anaknya