FIKMIN KEJUJURAN

PLAGIARISME
Karya: Elinnurs Mila

Bel istirahat berbunyi, secara otomatis aku langsung keluar kelas untuk segera ke kantin. Tiba-tiba langkahku terhenti melihat kerumunan anak-anak di depan mading. Rasa penasaran membawa langkahku berbelok ke sana, merangsek maju ke depan agar bisa melihat berita apa yang membuat heboh.

“Yes!” teriakku melompat kegirangan.

“Ada apa sih, Jen?” tanya Tata kepadaku.

“Kamu baca aja sendiri,” kataku sambil menarik sahabatku agar maju ke depan.

Tata membaca dengan keras pengumuman di mading. Keningnya berkerut, kemudian memandangku cuek seakan-akan bukan berita penting.

“Kamu mau ikut, Ta?” tanyaku kemudian.

“Lomba menulis cerpen ini? Aku kan tidak suka menulis kayak kamu.”

“Coba saja dulu! Kamu kan pintar kalau berdebat, nah coba kamu tuangkan dalam bentuk tulisan. Lakukan seperti kalau kamu berbicara, mudah kan?”

“Boleh dicoba. Hadiahnya juga lumayan.”

“Iya.” Aku mengangguk mantap.

Dalam rangka memperingati HUT SMA 17 Nusantara yang ke- 50, sekolah mengadakan berbagai jenis perlombaan antar kelas. Salah satu lomba terbaru yang diadakan adalah menulis cerpen untuk semua siswa dengan tema bebas. Aku sangat antusias menyambutnya, selain hobi menulis hadiahnya pun cukup menarik. Tiga pemenang akan mendapatkan tropy dan sertifikat, serta uang pembinaan untuk mengikuti kelas menulis di Kabupaten.
Waktu yang diberikan hanya satu minggu. Aku segera mengajak Tata ke perpustakaan untuk mencari sumber referensi. Siapa tahu di sana mendapatkan ide yang menarik.

“Jena, aku boleh pinjam buku ceritamu yang bersampul merah itu?”

“Boleh saja. Tapi kamu harus menjaganya baik-baik, karena buku ini adalah peninggalan dari almarhum Kakekku.”

“Buku langka dong? Siaplah kalau begitu.”

Aku pun memberikan buku cerita tentang kehidupan Kakek yang ditulisnya sejak masih muda. Isinya begitu memotivasi dan menginspirasiku untuk menjadi penulis seperti beliau. Uniknya aku tak pernah bosan membaca buku ini berulang kali hingga hafal seluruh cerita yang ada.

Waktu terus berjalan. Aku sudah merevisi tulisanku berkali-kali, tapi masih saja ada yang kurang saat membacanya lagi. Rasanya hampir menyerah ketika tinggal dua hari mendekati deadline dan naskahku belum selesai juga.

“Tata, kamu jadi ikut lombanya tidak?” tanyaku saat kami istirahat.

“Jadi dong!” jawabnya mantap.

“Tapi kamu kok santai? Tulisanmu sudah selesai?”

“Masih kurang editing-nya saja.”

“Kok cepat banget. Aku saja hampir putus asa.”

“Seperti katamu kemarin, nulis saja semudah kita bicara.”

Mendengar pengakuan Tata, aku segera meningkatkan semangatku untuk menulis lagi. Jika sahabatku bisa, aku pun harus bisa. Dua hari yang tersisa benar-benar kuhabiskan untuk memelototi naskah di depan komputer. Rasa pegal akhirnya terbayarkan saat aku bisa mengumpulkan hasil tulisanku tepat satu jam sebelum ditutup.

Satu minggu telah berlalu sejak deadline. Kini tiba saatnya untuk pengumuman para juara dari berbagai perlombaan. Semua siswa dan guru berkumpul di aula pertemuan. Suasana begitu tegang dalam sebuah penantian. Detak jantungku berdebar kencang, saat dewan juri mengumumkan siapa pemenang dalam lomba menulis. Mendadak tanganku menjadi dingin, ketika namaku tidak disebutkan sebagai juara tiga atau dua.

“Sekarang kami akan mengumumkan juara satu dari lomba menulis cerpen tahun 2017. Yaitu karya dengan judul “Impianku” milik seorang siswi bernama Tata Auladetina! Selamat kepada semua pemenang, dan kami persilakan Tata untuk membacakan cerpen miliknya.”

Pengumuman dari dewan juri disambut dengan tepuk tangan yang begitu meriah. Tata yang berada di sebelahku melompat kegirangan. Aku sangat terkejut mendengar sahabatku menjadi juara, padahal tidak pernah memiliki hobi menulis.

“Selamat ya, Ta. Kamu hebat!” kataku menjabat tangannya.

Aku menatap punggung sahabatku yang maju ke depan. Dengan begitu tenang dia membacakan naskahnya. Paragraf awal hingga pengenalan tokoh terdengar biasa-biasa saja. Tetapi saat memasuki konflik hingga penyelesaian masalah, membuatku kaget. Aku sangat shock mengetahui cerita yang ditulisnya.

“Tunggu!” teriakku sekeras-kerasnya.

Aku tidak peduli dengan semua tatapan tajam ke arahku.

“Saya minta maaf sebelumnya, tetapi cerita yang ditulis Tata sama persis dengan cerita yang ada di dalam buku ini,” kataku sambil menunjukkan buku merah Kakek.

Aku yang sudah hafal dengan ceritanya, segera membuka halaman 188 dan memberikannya kepada dewan juri. Suasana begitu tegang penuh tanya. Sampai akhirnya dewan juri memutuskan bahwa Tata harus didiskualifikasi karena terbukti melakukan plagiarisme. Maka untuk juara dua dan tiga menjadi juara satu dan dua, sedangkan juara tiga diambil dari urutan naskah terbaik nomor empat yaitu karya milikku.

Aku sangat bahagia karena naskahku terpilih sebagai tiga karya terbaik walaupun bukan juara satu. Tata yang merasa dipermalukan segera berlari meninggalkan aula, wajahnya merah padam. Dia menatapku penuh amarah dan kebencian. Aku segera menyusulnya dan meminta maaf. Menjelaskan bahwa plagiarisme adalah sikap yang buruk dan melanggar undang-undang. Jika penulis asli tidak terima maka pelakunya dapat dikenakan hukuman.

Tata pun mengerti apa yang kusampaikan. Dia menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya dan mencoba lagi untuk belajar menulis secara jujur.

(SELESAI).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Usul Burung Walet

Pelatihan Jurnalistik

Ibu Wajib Mengajarkan Al Fatihah Kepada Anaknya