Petani Milenial Tolak Menjadi ASN


 Petani Milenial Tolak Menjadi ASN

Oleh: Merlin Nursmila



Sumber: Dokumentasi Pribadi


Luar biasa! Sosoknya lebih memilih menjadi petani milenial daripada mengemban tugas menjadi ASN. Bahkan, kesempatan untuk melanjutkan studi di negeri Kanguru pun ditolak. Wow, keren! Sebenarnya apa sih, motivasi di balik itu semua? 

Aku memandang lawan bicaraku siang ini dengan takjub. Banyak hal-hal yang ingin ditanyakan tentang keputusannya itu.

“Mister, mengapa harus memilih pertanian organik? Bukankah dananya besar dan masa panen lebih lama?” 

Mister Green, begitulah sapaan petani milenial berbadan tegap dan berambut cepak itu. Wajah bulatnya memandangku, tersenyum.

“Sederhana saja. Saya hanya ingin menyediakan makanan sehat bagi masyarakat Kebumen khususnya. Selain itu, mau mendukung petani lokal untuk berubah dan berkembang lebih baik lagi. Petani kita harus maju dan mulai bercocok tanam dengan terencana, bukan hanya menuruti musim,” jawab Mister Green dengan pasti.

Mendadak, wajahnya tampak murung. Tatapannya menerawang jauh ke depan, seakan teringat dengan suatu peristiwa.

Sumber: Dokumentasi Mr. Green


“Saya teringat dengan seorang petani kangkung di sebuah desa di utara kabupaten. Tahukah kamu berapa harga kangkung per ikat?” Mister bertanya, tapi kemudian menjawabnya sendiri dengan mata berkaca-kaca.

“Tengkulak membeli dengan harga tiga ratus sampai lima ratus rupiah! Padahal, harga di pasar bisa mencapai tiga ribu rupiah. Mendengar dan melihat kondisi petani di sana, hati saya terenyuh. Ini  adalah PR bagi saya, bagaimana cara mendukung petani lokal agar tetap sejahtera.”

Aku menunduk mendengar ceritanya. Membayangkan daerah pegunungan di utara Kebumen dengan kondisi masyarakatnya. Sungguh memprihatinkan. Padahal, sebagian besar wilayah Kebumen berupa ladang, tegal, dan lahan pertanian. Namun, kondisi ini ternyata belum membuat petani lokal sejahtera.

“Bagaimana cara mengajak petani lokal yang sudah terbiasa memakai pupuk kimia, lalu beralih ke pertanian organik? Bukankah latar belakang pendidikan Mister itu, sosiologi?” tanyaku penasaran.

“Itulah kuncinya! Saya memang belajar pertanian organik ini secara autodidak karena berawal dari hobi bercocok tanam. Namun, bukan berarti ilmu sosiologi saya tidak terpakai. Justru dengan berbekal ilmu tersebut, saya bisa dengan mudah bergaul dan mendekati petani lokal. Banyak pelajaran yang didapat ketika saya berkeliling dari satu desa ke desa lain, setelah bertemu mereka.”

Aku semakin takjub dengan petani muda yang berjiwa sosial tinggi ini. Dia tidak hanya mementingkan dirinya sendiri untuk meraih sukses, tapi rela membagi-bagi ilmunya untuk mendukung kesejahteraan petani lokal.

“Ke mana petani lokal  harus menjual hasil pertanian organiknya? Dengan harga yang lebih mahal, tentu tidak mudah untuk menjualnya ke masyarakat yang sudah terbiasa dengan harga sayur dan buah yang lebih murah di pasar.”

“Sementara ini, saya yang menjadi tengkulak bagi mereka. Ada batasan nominal yang telah disepakati ketika harga di pasaran naik dan sebaliknya jika harga turun. Hal ini dilakukan untuk menjaga harga tetap stabil. Saya ingin usaha dan jerih payah mereka benar-benar mendapatkan harga yang pantas. Selain itu kualitas juga tetap terjaga karena masa panen harus sesuai. Tidak boleh terlalu awal juga jangan sampai terlambat.”

Kuakui jika manajemen yang dilakukan Mister Green terstruktur dengan baik. 

“Ke manakah Mister menjualnya?” tanyaku lagi sambil sesekali memandang hijaunya tanaman organik di halaman rumah.


Sumber: Dokumentasi Mr. Green

“Sebelum mengembangkan pertanian organik ini lebih luas ke desa-desa, saya sudah memulainya sejak tiga tahun yang lalu. Awalnya saya hanya menanam bayam organik dan hasilnya ditawarkan ke masyarakat sekitar. Sekarang pelanggan sudah banyak. Mulai dari pengusaha rumah makan, pegawai kantoran, dan ibu rumah tangga, hingga ke wilayah Purworejo. Bahkan, saya dan tim sampai kewalahan melayaninya.”

“Mantap! Sekarang apa saja produk Mister Green?” tanyaku lagi sambil menyeruput teh manis yang dihidangkan.

“Sekarang tim saya sudah tersebar di berbagai wilayah seperti Desa Karanggayam, Klirong, Alian, Prembun, dan Kebumen. Mereka ada yang menanam bayam, kangkung, tomat, cabai, jamur, jambu kristal, pisang kepok, dan lainnya. Tahun depan, saya berencana untuk menambah lahan pertanian organik ini menjadi 300 ubin,” jelas Mister Green antusias.

Aku mengaminkan apa yang menjadi harapan Mister Green dan tim. Semoga pertanian organik di Kebumen ini semakin meluas dan mendatangkan manfaat yang besar. 

“Saya berharap bisa menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat Kebumen dengan mendukung dan memberdayakan petani lokal. Jadi, ke depannya tidak ada lagi pemuda yang bercita-cita untuk merantau setelah lulus sekolah.”

“Apakah mereka akan diajak untuk menjadi petani organik?”

Mister Green tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.

“Ke depan, saya akan membuka kios sayur organik dengan tampilan kekinian, tapi dengan harga pasar. Selain itu, saya juga sudah mulai memproduksi olahan sehat berbahan sayur organik. Jadi, mereka tidak harus turun tangan langsung menjadi petani.”

"Semoga sukses untuk Mister Green dan tim."

"Doakan saja, semoga saya dan tim mampu mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat Kebumen untuk mandiri, sejahtera, berdaya, dan berkarakter mulia," ucap Mister Green dengan mantap.

"Ya, tentu saja. Mister Green pasti mampu membangun desa dan masyarakat Kebumen untuk lebih maju lagi," kataku pasti.

Aku mengembuskan napas lega setelah mendapat pencerahan yang luar biasa dari cerita seorang petani milenial asli Kebumen. Obrolan siang ini, ditutup dengan melangitkan cita-cita agung untuk kesejahteraan masyarakat Kebumen ke depannya. Semoga, alam semesta mewujudkannya.

***
#Kebumenku391
#Umahgombong

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Usul Burung Walet

Pelatihan Jurnalistik

Ibu Wajib Mengajarkan Al Fatihah Kepada Anaknya