WISATA LITERASI UMAH GOMBONG

WISATA LITERASI UMAH GOMBONG

Asyik dan bikin ketagihan. Setiap orang pastinya tak akan menolak jika diajak bermain, jalan-jalan, dan seru-seruan bersama teman. Apalagi jika semua itu didukung oleh sponsor alias tanpa pungutan biaya sepeser pun. Gratis!
 Dokumentasi Umah Gombong


Begitu juga yang telah dilakukan oleh Umah Gombong yang terletak di Dukuh Pelalar, Desa Semanda, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Ialah sebuah komunitas yang baru berkibar benderanya secara resmi pada Oktober silam. Untuk pertama kalinya, Thomas Airlangga bersama Sara–istri tercinta–menyelenggarakan acara pelatihan menulis narasi yang dibuka untuk umum dengan metode berbeda dari yang sudah ada.

“Hari ini kita akan jalan-jalan ke Waduk Sempor dan Benteng Van der Wijck Gombong,” jelas Mas Thomas.

“Yeay … asyik!” seru peserta dengan rona bahagia.

“Oke, sebelumnya akan ada sesi perkenalan dan pembentukan kelompok yang masing-masing akan dipandu oleh seorang fasilitator. Mereka adalah Sigit Kurniawan dan Frans Pascaries dari KomJak Jakarta.”

Tak kenal maka tak sayang. Pepatah ini menjadi amunisi pada setiap pertemuan perdana. Semua peserta wajib memperkenalkan diri melalui gerak dan ekspresi secara bergantian. Sungguh, permulaan yang seru dan pastinya membekas dalam ingatan sebagai kesan di awal perjumpaan.

“Semua sudah saling kenal, saatnya kita menuju lokasi. Ingat, gunakan semua panca indra. Rasakan, endus aroma yang ada, dengarkan, dan lihatlah hal-hal menarik yang ada di sekitar,” pesan Mas Sigit sebelum melakukan perjalanan, “Jangan lupa untuk bertanya kepada siapa pun yang ada di lokasi untuk mencari informasi,” lanjut editor majalah Marketeers lagi.

“Siap!” jawab peserta kompak.

Perjalanan pertama pun dimulai. Kelompok satu berjumlah Sembilan orang siap menuju objek wisata Waduk Sempor. Sebuah wisata alam yang telah masuk dalam daftar Geopark Karangsambung-Karangbolong (GNKK) Kebumen.

Sedangkan kelompok dua dengan jumlah delapan anggota pergi menyusuri sejarah di Benteng Van der Wijck–bangunan peninggalan Belanda yang menjadi satu-satunya benteng berbentuk segi delapan di Indonesia–Gombong.

Kurang lebih selama dua jam, semua peserta mencari bahan menulis sebanyak-banyaknya dengan cara mengamati objeknya secara langsung. Entah melalui wawancara pengunjung, petugas, atau membaca informasi yang terpampang di lokasi. Kelima panca indra juga harus diasah untuk memperhatikan kondisi dan suasana sekitar sebagai bahan deskripsi dalam penulisan.

Akhirnya, tepat jam dua belas siang semua peserta telah berkumpul kembali di Umah Gombong. Saatnya untuk istirahat melepas dahaga dan rasa lapar yang melanda. Barulah setelah itu, semua peserta diberikan waktu dengan batas waktu hanya enam puluh menit untuk menulis.

“Silakan tulis apa saja yang telah kalian dapatkan di lokasi lalu kirim ke email saya,” kata Mas Thomas, “Alamat email akan dikirim di grup Whatsapp.”

“Iya!” Semua peserta menjawab kompak.

Tik tok tik tok ....
Jarum jam terus berputar. Suasana hening menghiasi ruang belajar yang nyaman dan terlihat santai. Semua fokus pada pikiran dan kerangka tulisan. Hingga tanpa terasa waktu satu jam sudah terlewati.

“Sudah selesai semuanya?” tanya Mas Frans, seorang penulis dan penerjemah bahasa asing.

“Sudah!”

“Sekarang kita bahas bersama-sama tulisan yang ada secara bergantian.”

Mas Frans dan Mas Sigit pun mulai mengoreksi tulisan peserta. Banyak hal yang dibahas mulai dari penulisan judul yang benar, paragraf pembuka yang menarik, komposisi jumlah kata dalam setiap kalimat, penulisan di sebagai kata depan atau awalan, kata baku, penulisan kutipan dan pernyataan, serta hal teknis menulis lainnya.

Secara tak langsung, banyak ilmu dalam menulis yang telah dipelajari oleh peserta melalui praktik secara langsung. Peserta pun boleh bertanya dan memberikan tanggapan selama pembahasan. Sungguh, cara belajar yang praktis, santai, dan nyaman.

“Ada yang mau ditanyakan lagi?” tanya Mas Frans di akhir pembahasan.

“Untuk sementara cukup,” jawab seorang peserta.

 “Baiklah, kalau begitu akan dilanjut dengan pengisian materi oleh Mas Sigit, silakan,” jelas Mas Frans.

“Menulis itu seperti sungai yang mengalir,” ucap Mas Sigit mengawali materi.

                                      Dokumentasi Umah Gombong

Semua peserta fokus pada materi dan penjelasan dari fasilitator.

“Menulislah dari hal-hal kecil yang ada di sekitar karena hidupadalah sumber cerita. Jangan lupa untuk memiliki prinsip menulislah jelek,” jelas Mas Sigit. “Mengapa? Karena jika dituntut untuk menulis bagus maka tulisan kita tidak akan pernah selesai,” lanjutnya.

Pembahasan semakin serius tetapi tidak membuat peserta jenuh. Semua tetap antusias bahkan sampai materi selesai.

“Perlu diingat bahwa janganlah sekali-kali kita pergi tanpa kembali dengan sebuah tulisan. Sangat disayangkan! Padahal sebelum menulis, sebanyak tiga puluh persen dari apa yang akan ditulis sudah tersimpan di otak,” ungkap Mas Sigit.

“Ada yang ditanyakan?” tanya Mas Frans.

“Apa perbedaan menulis narasi dengan feature?”

“Imajinasikan bahwa feature itu sebuah foto dan narasi adalah video. Bisa kalian bayangkan perbedaaanya?” kata Mas Frans.

“Bisa.”

“Kalau boleh usul, bagaimana jika ada pelatihan lanjutan?” tanya seorang peserta.

“Pasti, direncanakan kegiatan ini akan ada lanjutannya,” jawab Mas Thomas.

“Betul, jika satu hari masih kurang. Mau banget kalau ditambah seminggu lagi,” seorang peserta lain menimpali.

“Doakan lain waktu bisa lebih lama lagi.”

“Aamiin.”

Kegiatan pelatihan menulis narasi pun ditutup dengan kepuasan di wajah peserta. Sesi terakhir adalah foto bersama sebagai tanda pisah dan sebagai kenang-kenangan. Semoga di lain kesempatan bisa berjumpa lagi dengan kemampuan menulis yang sudah bertambah lebih baik lagi.

                                     Dokumentasi Umah Gombong

Sayonara!





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Usul Burung Walet

Pelatihan Jurnalistik

Ibu Wajib Mengajarkan Al Fatihah Kepada Anaknya