ISTIKHARAH CINTA


Istikharah Cinta
Karya: Merlin N.S

Dia Jarka, bujang tua yang hidup sebatang kara di sebuah desa terpencil. Kesehariannya dihabiskan untuk bertani, memancing, atau menulis syair-syair muhasabah alam di gubuk sawah. Semilir angin musim kemarau menggoyangkan pucuk-pucuk bunga jagung, menghembuskan kedamaian bagi pemiliknya.
“Tolong…tolong…! Ada babi hutan masuk ke ladang dan memakan timun-timunku!” teriak seorang warga dari tengah ladang.
Jarka yang sedang memejamkan mata menikmati semilir angin segera bangkit mengambil senapan angin dan berlari menuju sumber suara. Segera ditarik pelatuknya dan dibidikkan ke arah sekerumunan babi hutan yang sedang pesta timun.
“Dorr… door… doorrr…!”
Mendengar suara tembakan yang bertubi-tubi, babi hutan lari tunggang langgang masuk kembali ke hutan di sebelah selatan persawahan warga.
“Terima kasih, Jarka. Tapi mengapa tak kautembak mati saja babi-babi itu?”
“Jangan, Paman. Kasihan jika babi-babi itu dibunuh hanya karena makan timun. Babi pun membutuhkan makan sama seperti manusia. Aku hanya membidikan peluru-peluru melewati kepala mereka untuk mengagetkan dan menakutinya.”
Begitulah Jarka yang tak pernah ingin menyakiti siapa pun dan siap menolong semua orang. Namun sayang tak ada keberanian dalam dirinya untuk mendekati perempuan, apalagi untuk menikahi. Tak jarang warga sekitar yang menawarkan anak perempuan mereka agar Jarka mau menikahinya, tapi selalu ditolak.
Entah alasan apa yang membuat lelaki pekerja keras itu memilih hidup sendiri semenjak kematian orang tuanya. Cinta Jarka hanya dicurahkan untuk tanaman-tanaman padi di sawah dan palawija di ladang. Setiap hari ditembangkannya kidung-kidung tani dari syair ciptaannya sendiri. Walaupun begitu setiap warga sangat menyayanginya karena kesederhanaan dan keramahannya.
*
Sedangkan nun di sebelah utara, sebuah kota metropolitan dengan segala kecanggihan teknologi hiduplah seorang gadis korban perceraian. Orang tua yang sama-sama egois dan gila kerja tak pernah memberikan curahan kasih sayang. Hanya fasilitas mewah yang didapatkan untuk menunjang hidupnya. Hingga akhirnya mereka bercerai dan menikah lagi dengan selingkuhan masing-masing.
Selia, gadis semester enam di sebuah universitas ternama di kota itu terpaksa di-drop out.  Dia mendapatkan IPK di bawah ketentuan kampus selama tiga semester berturut-turut. Masalah keluarga membuatnya sangat tersiksa hingga tak ada semangat menjalani hidup, terlebih untuk belajar. Teman-teman banyak yang mencibir dan sang pacar pun mengkhianati cinta tulusnya.
“Selia, kamu harus ikut Papa agar hidupmu lebih bahagia dan terjamin. Kita akan pindah ke luar negeri dan kamu melanjutkan kuliah di sana,” bujuk Papanya.
“Tidak, Selia. Kamu anak perempuan yang sangat Mama sayangi. Jika kamu tinggal di sini maka kita akan hidup bahagia karena saling mengerti sebagai sesama perempuan. Kamu mau kan, Sayang?” tanya Mamanya merayu dengan lembut.
Gadis itu hanya diam menahan marah dan kekecewaan di hatinya.
“Mengapa mereka baru ingat kepadaku setelah berpisah? Kemana saja mereka saat aku membutuhkan kasih sayangnya?” jerit hati Selia.
“Selia, kamu harus ikut Papa.”
“Tidak Sayang, kamu akan lebih bahagia tinggal sama Mama. Kita akan membeli rumah baru yang lebih bagus lagi.”
Air mata hangat membasahi pipinya, tak mampu menahan gejolak-gejolak emosi di dalam hati.
“Tidak…! Selia tidak akan pernah ikut kalian dan jangan pernah menjadikanku bahan rebutan lagi. Aku ini bukan boneka, Ma… Pa!” teriak Selia dan berlari ke luar rumah.
Dia terus berlari menyusuri kota di bawah guyuran hujan malam ini. Tak tahu arah yang akan dituju, hanya mengikuti kemana kaki melangkah. Karena terlalu jauh dia berlari dengan kondisi sangat terpukul, akhirnya badannya limbung dan terjatuh tak sadarkan diri.
Malam semakin larut dan hujan turun semakin deras. Jalanan tampak begitu sepi, tidak ada orang yang dengan senang hati meninggalkan rumahnya. Mereka lebih memilih berbaring di balik selimut, mendekap mimpi-mimpi yang indah.
*
“Thong…! Thong…Thong…Thong…!” Terdengar bunyi kentongan satu kali dan semakin banyak bunyi kentongan secara terus-menerus.
Jarka yang baru selesai membersihkan rumah segera menyambar baju dan berlari menuju kediaman Kyai Sepuh. Dari sanalah asal bunyi kentongan, karena hanya Kyai Sepuh lah yang biasanya membunyikan tanda kentongan untuk mengumpulkan warga.
“Maaf Bapak dan Ibu semua, karena harus berkumpul mendadak seperti ini. Tak lain karena ada hal penting yang akan saya bicarakan setelah meninggalnya marbot masjid tujuh hari yang lalu,” kata Kyai Sepuh mengawali.
Warga yang sudah berkumpul di serambi masjid dengan sabar menunggu kelanjutan ucapan Kyai Sepuh. Mereka saling melingkar dan duduk bersila dengan sangat takzim.
“Baiklah Bapak dan Ibu, saya akan membeberkan sebuah amanah yang telah disampaikan oleh almarhum. Sebelum meninggal beliau bercerita kepada saya, bahwa pengganti marbot masjid adalah seseorang yang memiliki cahaya dalam hidupnya karena kebaikan yang selalu dia tebarkan,” ucap Kyai Sepuh sambil melihat warganya.
Sedangkan warga mulai berbisik-bisik dan saling menanyakan siapakah gerangan orang yang akan menggantikan marbot lama.
“Karena kita tidak bisa melihat cahaya dalam diri seseorang selain Yang Maha Kuasa, maka tujuan saya mengumpulkan kalian adalah untuk membicarakan tentang pemilihan marbot. Siapa kiranya yang pantas untuk menggantikan tugas sebagai marbot?”
Setiap warga mulai memberikan pendapatnya masing-masing dan mulai menunjuk beberapa nama. Setelah melalui diskusi panjang dan perdebatan yang alot, mereka setuju untuk mengamanahkan tugas ini kepada Jarka. Dengan alasan bahwa Jarka adalah orang yang sangat baik, dan belum berkeluarga sehingga tidak ada tanggungan untuk menjadi marbot.
“Bagaimana pendapatmu, Jarka?” tanya Kyai Sepuh.
“Saya belum siap, Pak Kyai. Nanti bagaimana dengan nasib sawah dan ladang saya? Pasti waktu dan perhatian untuk mereka menjadi berkurang,” jawab Jarka polos.
“Hanya ada dua pilihan untukmu, Jarka. Sanggup menjadi marbot masjid atau kamu mau menikah? Jika sudah menikah, maka usulan menjadikanmu sebagai marbot dapat dipertimbangkan lagi karena kamu telah berkeluarga. Bagaimana saudara-saudara?” tanya seorang warga meminta persetujuan yang lain.
“Setuju… setuju…!” seru warga dengan kompak.
“Bagaimana Jarka, keputusan ada di tanganmu,” ucap Kyai Sepuh bijak.
“Saya masih bingung, Kyai. Tidak tahu mana yang akan saya pilih,” jawab Jarka dengan lemas.
“Tidak usah terburu-buru menjawabnya. Lebih baik kamu melakukan shalat istikharah saja sebelum memutuskan. Nanti kamu akan mendapat jawaban dengan sendirinya,” tutur Kyai Sepuh memberi nasihat.
Jarka mengangguk pelan, kemudian berpamitan untuk pulang yang diikuti oleh semua warga. Bujang itu akan melakukan nasihat Kyai Sepuh untuk melakukan istikharah mulai nanti malam. Dia akan bermalam di gubuk sawahnya agar lebih sepi dengan suasana tenang, dikelilingi tanaman-tanaman cintanya.
*
Dini hari menjelang fajar, tiga wanita seksi berjalan beriringan penuh canda tawa. Hujan deras semalam telah berhenti menyisakan hawa dingin yang menusuk-nusuk tulang. Tiba-tiba langkah mereka terhenti demi dilihatnya seorang gadis tak sadarkan diri di tengah jalan.
Setelah berdiskusi lama, mereka memutuskan untuk menolong sang gadis dan dibawa pulang. Digantilah pakaian gadis yang basah dan dioleskan minyak aroma therapy di hidungnya agar segera sadar.
“Aku dimana? Badanku rasanya sakit semua,” ucap sang gadis saat siuman.
“Kamu aman di sini. Perkenalkan aku Nita dan ini teman-temanku, namamu siapa? Tadi kami menolongmu saat pingsan di jalan dan membawamu ke sini,” jelas Nita.
“Namaku Selia, terima kasih kalian telah menolongku.”
“Apa yang terjadi denganmu sampai kamu pingsan?” tanya Nita penasaran.
Selia pun menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya dan tentang kedua orang tuanya. Dia menangis menumpahkan segala beban berat yang mengganjal di hati. Nita memeluknya penuh kehangatan yang membuatnya tenang. Teman-teman baru di dekatnya sekarang begitu simpati dan perhatian, dia seperti merasakan jiwanya yang haus kasih sayang telah terobati.
“Baiklah Selia, sebaiknya kamu sekarang istirahat agar lebih tenang. Besok kami akan mengajakmu bekerja bersama kami agar kamu dapat melupakan masalah yang menimpamu,” Ucap Nita menenangkan.
Selia mengangguk dan mulai memejamkan matanya. Ada sebuah harapan kecil di hatinya untuk bangkit dari keterpurukan dan siap menyambut hari-hari yang lebih baik. Nita dan teman-temannya pun segera beranjak ke kamar masing-masing untuk melepas penat. Mereka bahagia menerima kedatangan Selia, gadis cantik yang masih polos.
Matahari pagi terus menyinari bumi seharian penuh hingga tenggelam di kaki langit. Sesuai dengan janjinya, Nita membawa Selia menemui atasannya untuk meminta pekerjaan. Mereka berjalan menuju sebuah gedung yang tinggi dengan penjagaan yang ketat di setiap sudutnya. Selia berpikir mungkin calon atasannya adalah seorang tentara yang wajib dikawal.
“Tante, ada calon karyawan baru yang ingin bergabung dengan perusahaan kita. Namanya Selia.” Nita mengenalkan sahabat barunya dengan semangat.
Seseorang yang dipanggil Tante, ternyata adalah seorang wanita paruh baya dengan dandanannya yang sangat fashionable­. Dia memandang Selia dari kepala sampai kaki dengan senyum terkembang.
“Selia, nama yang sangat cantik seperti orangnya. Baiklah Nita, tolong kamu antarkan temanmu masuk agar dia bisa mengikuti training terlebih dahulu sebelum benar-benar bekerja.”
“Baik, Tante.”
Nita segera membawa Selia memasuki sebuah ruangan besar di dalam rumah itu. Dia mengatakan kepada Selia untuk tetap tenang saat melaksanakan interview, kemudian memeluk sahabat barunya untuk menenangkan dan meyakinkannya.
Selia mulai bingung dengan perasaannya yang berubah tidak enak. Dia merasa seperti dalam bahaya setelah ditinggal pergi sendirian. Terlebih ketika Tante yang tadi menemuinya sekarang masuk ke ruangan itu dengan tawa bahagia. Diberinya dia sepotong baju yang sangat terbuka, jenis pakaian yang belum pernah dia kenakan sebelumnya. Kini Selia tahu dia berada di mana, kemudian berpikir untuk melarikan diri. Namun pengawal yang begitu banyak di setiap sudut tak mungkin bisa dilawan.
“Sekarang kamu pakai pakaian itu dan poles wajahmu dengan ini agar aura kecantikannmu lebih terlihat,” ucap Tante sambil memberikan kotak make up. ”Malam ini juga kamu harus mulai bekerja dan jangan pernah mencoba untuk kabur, karena pengawalku akan memata-matai setiap gerakanmu.”
Selia terpaksa menuruti semua perkataan Tante itu. Batinnya menjerit, merasa telah ditipu oleh Nita dan teman-temannya. Air mata mulai menetes dari sudut matanya. Dia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya ke depan.
Setelah dirinya siap dengan semua kemauan Tante itu, Selia segera dibawa pergi menuju suatu tempat. Di sana diperkenalkan dengan seorang Om berdasi yang terlihat sudah menunggu. Pandangan Om itu seakan menembus jantungnya, dan siap memakannya hidup-hidup. Didorongnya tubuh ramping Selia agar mau mengikuti semua kemauan orang berdasi itu, jika tidak maka nyawa yang akan menjadi taruhannya. Begitulah ancaman dari Tante cantik dengan rambut pirangnya.
Selia terpaksa menuruti semua kemauan Tante itu. Mulai dari malam ini, besok dan malam-malam selanjutnya. Tak ada sedikit pun kesempatan untuk melarikan diri, karena dia selalu diantar jemput oleh supir pribadi Tante dengan dua orang pengawal sekaligus setiap harinya. Nita dan teman-temannya pun selalu memandangnya penuh kemenangan dengan kerlingan mata yang membuatnya ill fill.
Setiap malam Selia bekerja lebih banyak dan lebih lama untuk melayani tamu-tamu hidung belang. Tak jarang dia mendapatkan perlakuan buruk dari tamunya, karena merasa tidak dilayani dengan baik. Jika tamu itu melapor kepada Tante, maka dia akan dikurung dan tidak diberi jatah makan. Batinnya semakin berontak namun dia hanya bisa pasrah seraya berdoa agar suatu hari ada yang menyelamatkannya dari jurang kenistaan.
*
Setiap malam Jarka mulai melakukan istikharah, dia berdoa kepada Tuhan agar diberi petunjuk manakah pilihan terbaik yang harus diambilnya. Selesai berdoa dengan penuh cinta terhadap Tuhannya, dia selalu merenung dan melakukan refleksi diri. Begitulah yang dia lakukan sampai diberi petunjuk.
Malam pertama setelah istikharah, Jarka tidur dengan gelisah karena dihantui bayang-bayang pilihan yang diajukan kepadanya. Saat malam kedua, Jarka bermimpi sedang jalan di sebuah tempat yang sangat gelap dan jauh di ujung jalan ada cahaya putih. Jarka pun menceritakan perihal mimpinya kepada Kyai Sepuh, dan beliau menyuruhnya untuk melanjutkan istikharah.
Malam ketiga setelah melakukan istikharah, Jarka tertidur dan bermimpi melihat seorang wanita berteriak meminta tolong karena dililit oleh seekor ular raksasa yang hendak memakannya. Mimpi yang membuatnya ketakutan bermandikan keringat itu segera diceritakannya kepada Kyai, namun lagi-lagi Jarka disuruh beristikharah kembali.
Malam keempat Jarka beristikharah, dia bermimpi diberi selendang berwarna biru muda oleh seorang wanita yang sebelumnya dililit ular. Wanita itu tersenyum simpul, sungguh memikat hati. Karena perasaan malu, Jarka memutuskan untuk tidak menceritakannya  kepada Kyai Sepuh. Kemudian dia mengakhiri istikharah di gubuk sawahnya, karena takut ada mimpi-mimpi lain yang menghantui hidupnya. Namun karena rasa penasaran, Jarka tetap melakukan istikharah di rumah. Setelah itu dia tidur dengan sangat nyenyak tanpa ada mimpi-mimpi yang menghantui tidurnya lagi.
*
Malam ini adalah malam minggu, di mana suasana tempat Selia bekerja mengalami puncak keramaian. Selia sedang berada di kamar pojok paling belakang untuk menunggu kedatangan tamunya. Namun tiba-tiba dia mendengar ada suara tembakan ke atas dan keramaian di ruang depan. Merasa ada yang tidak beres, Selia segera melompat turun melalui jendela kamar dan berlari kabur.
Dia tak melihat pengawal-pengawal yang berjaga, sehingga larinya semakin kencang tak tentu arah menerobos perkampungan penduduk. Ketika sampai di sebuah jembatan, Selia mendengar sirine mobil polisi dari arah belakangnya, segera saja dia melompat ke sungai dan berenang menuju bangunan bawah jembatan agar tidak terlihat.
Setelah dirasa cukup aman, dia kembali berenang mengikuti arus sungai ke selatan. Begitu seterusnya sampai dia menemukan sebuah sampan milik warga yang ditambatkan pada batu besar. Selia yang basah kuyup segera melepaskan ikatan tali sampan, kemudian mendayung terus ke selatan. Dia hanya ingin pergi sejauh-jauhnya agar tidak ditemukan oleh anak buah Tante. Dia ingin bertaubat dan berhenti menjadi seorang wanita penghibur.
Begitulah perjuangan panjang Selia hingga dia sampai di sebuah persawahan warga. Setelah menepikan sampan dan menaiki tanggul sungai, terlihat olehnya sebuah gubug sawah sekitar lima meter di depannya. Tanpa pikir panjang, segera ia pergi menuju gubug itu dan menyalakan perapian yang tersedia untuk menghangatkan badan. Rasa lelah yang tak tak terkira membuatnya tertidur sampai pagi.
*
Ayam mulai berkokok membangunkan manusia untuk segera beraktivitas. Jarka segera bangun dan mencuci muka, membuat badannya terasa begitu segar. Entah mengapa, dia ingin pergi ke ladang sepagi ini untuk melihat apakah tanaman jagungnya telah siap panen. Jarka berjalan dengan sangat gembira sambil bersiul-siul kecil.
Namun betapa kagetnya, ketika sampai di gubug sawah dia melihat seorang wanita tengah tertidur dengan pakaian berwarna biru yang sangat terbuka.
“Kkk… kamu, siapa?” tanya Jarka kaget.
Wanita itu terbangun mendengar suara, dan tak kalah kagetnya ketika melihat seorang lelaki di depannya. Dia tersadar akan pandangan Jarka yang terkejut melihat pakaiannya, maka segera dia menutupi bagian yang terbuka dengan kedua tangan.
“Pakai ini!” Jarka melemparkan sarung yang melilit dilehernya.
“Terima kasih.”
Kejadiannya begitu sangat cepat ketika warga desa yang pekerjaannya sebagai petani telah berada di sawah. Mereka melihat Jarka yang berduaan dengan wanita yang bukan muhrim, langsung memiliki pikiran yang bukan-bukan. Segera saja keduanya dibawa ke rumah Kyai Sepuh untuk menerima hukum adat, yaitu bagi siapa saja yang berduaan dengan bukan muhrim harus dinikahkan. Warga pun menuntut keadilan kepada Kyai Sepuh.
Jarka yang merasa tidak bersalah membela diri, namun tak ada warga yang peduli.  Mereka telah menyaksikannya sendiri, bahkan wanita tersebut memakai sarung milik Jarka. Melihat keadaan seperti ini, Kyai Sepuh meredakan suasana dan meminta Jarka beserta wanita itu masuk ke rumahnya, untuk memberikan keterangan. Kyai berjanji kepada warga akan berbuat adil, dan menyuruh warga untuk menunggu sebentar.
Di hadapan Kyai Sepuh, Jarka menceritakan apa yang telah terjadi. Mulai dari mimpinya yang tak diceritakan kepada Kyai, juga ketika dirinya istikharah dan tidur di rumah. Hingga dia menemukan ada wanita di gubuk sawahnya dan alasan mengapa wanita itu memakai sarung miliknya.
Kyai pun meminta keterangan dari pihak wanita. Wanita tersebut pun bercerita tentang kehidupannya hingga dia sampai di gubuk sawah. Kemudian dia memperkenalkan diri bahwa namanya adalah Selia.
Mendengar semua itu, Kyai tersenyum penuh makna.
“Baiklah, saya percaya kepada kalian berdua. Namun hukum adat harus tetap ditegakkan, maka kalian harus menikah. Mungkin dengan menikah adalah jalan Selia untuk bertobat, sedangkan menikah untukmu adalah jawaban dari mimpi-mimpi selama istikharahmu, Jarka.
“Engkau mendapatkan cahaya dalam hidupmu jika ikhlas menerima dan menikahi Selia sebagai istrimu, sehingga engkau berhasil menyelamatkannya dari jurang kenistaan. Bagaimana Jarka?” tanya Kyai Sepuh panjang lebar.
Jarka akhirnya mengangguk, dia tahu konsekuensi dari hukum adat yang ada di desanya. Tak disangka semua warga gembira mendengar penjelasan dan keputusan Kyai Sepuh, mereka juga meminta maaf kepada Jarka dan Selia karena telah salah paham.
Sepasang pengantin baru tampak sangat bahagia. Jarka bersyukur akhirnya bisa merasakan cinta yang sempurna dan Selia bersyukur karena dia begitu diterima dan dicintai oleh warga. Dia sangat berterimakasih kepada Kyai Sepuh dan suaminya karena bersedia merahasiakan masa lalunya serta menerimanya dengan ikhlas.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Usul Burung Walet

Pelatihan Jurnalistik

Ibu Wajib Mengajarkan Al Fatihah Kepada Anaknya