WARNA WARNI ANTOLOGI (2)
HAWA KESEPIAN
(Antologi bertema Kesepian; Aria Mandiri Gup; Bandung; 2017)
Karena kesepian hanya ingin menemani kesendirianmu, bukan menakutimu...
Sepi...
Sebuah rasa yang selalu membuatku berpikir tentang
pengasingan diri. Di mana kita merasa sendiri dalam keramaian, atau terlupakan
dari keberadaan.
Sepi...
Ia tak pernah luput meninggalkanku seorang diri. Rela menemani,
walau hening dan sunyi. Aku percaya, keberadaannya semata-mata hanya untukku. Agar
aku tak merasa kesepian, ketika tidak seorang pun ysng berada bersamaku.
_Kecuali Dia_
Sepi...
Dia mengajarkanku makna kesendirian. Saat di mana aku harus
melepaskan asa kepada udara yang bersahaja. Dalam ruang semu yang tak berwujud
nyata. Hanya aku, dan sepi.
***
Cuplikan blurb dari 30 kisah makna
kesepian dari berbagai sudut pandang. Kisah ketiga belas pada halaman seratus dari
buku tersebut begitu unik. Mengapa? Karena cerpen yang berjudul ‘Kisah Rupiah dan Smartphone’ merupakan
cerpen pertama dari seorang Elinnurs Mila yang dikirimkan kepada penerbit dalam
suatu event menulis. Cerpen tersebut tentu saja menceritakan kisah antara
selembar uang ‘Seratus Ribu’ dengan sebuah ‘Smartphone’ yang dimiliki oleh
seorang pemuda masa kini bernama Purnomo.
Surealis turut andil dalam kehidudap
cerpen tersebut yang membawa konflik tentang kecanggihan teknologi di erra
globalisasi. Purnomo yang hidup di kota metropolitan tentu saja melek akan
teknologi dan memanfaatkannya untuk memberi kemudahan dalam segala
aktivitasnya. Mulai dari mengirim pekerjaan, transaksi keuangan, berbelanja,
dan lain sebagainya.
Sangat berbeda dengan keadaan orang
tuanya di kampung. Di sini yang unik adalah, bukan Purnomo yang tidak mau
berbagi kemewahan dengan orang tuanya, tapi Bapak Abdul Rozaq, bapaknya, tidak
mau menerima fasilitas dari kecanggihan teknologi dalam kehidupannya. Kecuali satu
benda berharga yaitu sebuah telepon seluler jika anaknya terdesak ingin
menelepon.
Lalu bagaimana jika sebaliknya? Pak Abdul
Rozaq lebih memilih untuk menulis surat dan menggunakan jasa pos untuk
pengirimannya. Ia lebih bahagia bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang
yang bisa ditemuinya dalam dunia nyata. Itulah kunci kehidupan dari manusia
sebagai makhluk sosial; saling bersilaturahmi.
“Purnomo, saat kita sakit maka yang
akan menolong kita pertama kali adalah orang-orang yang berada di dekat kita.
Saat kita meninggal nanti, orang-orang terdekat pula yang akan mengurus jenazah
kita. Bukan segala kekayaan ataupun jabatan yang kita miliki. Jadi, berhentilah
bermain-main dengan segala kecanggihan dan kemudahan yang ditawarkan oleh
teknologi. Ingat, kita adalah makhluk sosial yang masih membutuhkan orang
lain.”
Pernyataan di atas akhirnya menyadarkan Purnomo dari
kemewahan dunia. Ia pun bertekad untuk balik kampung dan mendirikan usaha di
desa sembari menjaga kedua orangtuanya di masa senja. Segitu mudahkan Purnomo
bertaubat? Tentu saja ada konflik lain yang ditimbulkan oleh sang ibu tercinta
hingga anak semata wayang Pak Rozaq berani mengambil keputusan besar.
Akhir cerita, kebahagiaan pun dirasakan oleh sosok Rupiah
dan Smartphone. Mereka telah bebas tugas dari penderitaan. Beban apakah yang
diemban keduanya? Tentunya tentang pergeseran tugas antar zaman yang telah
semakin modern.
Itulah ssedikit review dari buku antologi cerpen berjudul ‘Hawa
Kesepian’. Buku yang menyajikan cerita-cerita unik dan memberikan pembelajaran
bagi pembaca untuk menghadapi suasana bernama kesepian dengan lebih bijak dan
positif. Memanfaatkan sebuah rasa sepi dengan kegiatan yang membawa manfaat
seperti mengukir prestasi lebih baik lagi.
***
Komentar
Posting Komentar