Pelangi Untuk Bunda
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarrakatuhu
Selamat malam sobat pelangi, kali ini saya akan berbagi cerita pendek yang saya tulis dalam rangka mengikuti sebuah event menulis cerpen. Namun sayang, naskah yang telah saya kirimkan ke penerbit tidak tahu rimbanya mungkin karena sesuatu terjadi kepada penerbit tersebut. Penanggung jawab event pun telah memberikan konfirmasi terkait hal ini.
Untuk itu, cerpen dengan mengambil tema Pelangi Dibalik Polusi ini akan saya bagikan sebagai bacaan ringan sobat pelangi semuanya.
Selamat menikmati dan happy reading guys....
Karya: Elinnurs Mila
Sumber gambar: be a writer and saintis.com
Pukul empat dinihari
sudah menjadi alarm otomatis dalam tubuh yang membuatku menggeliat sebagai
pemanasan sebelum membuka mata. Kulihat suamiku masih mendengkur dibalik
selimutnya, meringkuk kedinginan. Hujan deras semalam masih menyisakan alunan
rintik-rintiknya yang terdengar syahdu menyambut sang fajar.
Perlahan aku beranjak
untuk memulai tugasku sebagai ibu rumah tangga, bangun tidur lebih awal dan
tidur kembali saat yang lain telah terlelap. Aku menengok kamar kedua anakku,
tersenyum melihat jagoanku masih pulas dalam buaian mimpi indah mereka. Segera
aku menuju dapur untuk merebus air dan menanak nasi, kemudian diteruskan
meredam cucian kotor. Barulah aku menyapu dan membersihkan sudut-sudut rumah.
Benar kata orang tua dahulu bahwa wanita itu harus gesit dan lincah tidak hanya
mengandalkan kemolekan dalam merias diri saja. Aktifitas seorang ibu setiap
pagi secara rutin adalah olahraga sehat yang membuat badan lebih segar dan
kencang.
“Bundaaa…, Adik ngompol
lagi nih! Baju Kakak jadi basah dan bau.” Teriak Ayas, anakku yang baru duduk
di kelas empat.
Aku mengakhiri
kegiatanku untuk menyiapkan menu sarapan, segera ku kecilkan api kompor dan
menuju kamar anakku. Memang repot, tapi aku tidak suka menggunakan peralatan
rumah tangga yang serba listrik dan instan.
“Selamat pagi, Kakak.
Bangun tidur kok teriak-teriak, nanti gantengnya hilang lho.” Ucapku lembut
menyapa paginya.
“Gara-gara Adik sih….”
“Maafin Adik ya,
mungkin karena kedinginan jadi ngompol. Ya sudah, Kakak mandi dulu nanti Bunda
siapkan air hangatnya biar nggak dingin.”
Ayas segera beranjak ke
kamar mandi dengan wajahnya yang masih mengantuk. Aku tersenyum melihatnya
sambil mengganti pakaian Sabil, adiknya yang masih tiga tahun.
Waktu terus bergulir dan
sinar hangat mentari mulai menghapus jejak-jejak yang ditinggalkan hujan
semalam. Aku menemani Ayas dan Ayahnya untuk sarapan, acara wajib bagi keluarga
kecilku sebelum beraktifitas.
“Bunda, mungkin nanti
Ayah pulangnya agak malam karena harus mengontrol semua counter.” Kata suamiku memberitahu.
“Iya, Ayah. Semoga
dilancarkan dan dimudahkan segala urusannya.”
“Bunda, nanti jemputnya
jangan telat lagi ya? Ayas sudah janji sama teman-teman mau bermain sepak bola
bersama.”
“In syaa Allah,
Sayang.”
Tiba-tiba aku mendengar
suara tangisan Sabil, tanda jika dirinya sudah bangun. Ku kecup dan ku peluk
tubuhnya dengan penuh cinta, mengajaknya bercanda lebih dulu sebelum bangun
meninggalkan tempat tidurnya.
“Bunda, Ayah dan Ayas
berangkat dulu ya? Bunda baik-baik di rumah jangan terlalu capek.”
“Iya Ayah, hati-hati di
jalan. Kak Ayas di sekolah yang pintar ya, jangan nakal sama temannya.”
Aku melambaikan tangan
mengantar kepergian mereka di depan pintu, sambil berdoa untuk keselamatan dan
kebaikan mereka hari ini. Kini tinggallah aku berdua dengan Sabil dan setumpuk
pekerjaan rumah lainnya yang sudah melambai-lambai ingin segera dibereskan.
Niat hati ingin secepatnya membereskan dan melihat rumah yang rapi, tapi apa
daya jika jagoan kecilku sedang pintar manjanya dan tidak mau ditinggal.
Setelah dimandikan, dia menumpahkan semua mainannya dan mengajak Bundanya untuk
bermain bersama sambil menyuapi makan.
“Sayur… sayur… sayur….”
Terdengar teriakan abang penjual sayur menjajakan dagangannya.
Aku beranjak keluar
rumah sambil menggendong Sabil untuk belanja sayuran dan memasaknya sebagai
menu makan malam. Sabil asyik bermain dengan temannya setelah mendapatkan
jajan.
“Bu Farah belum
mencuci? Kok belum ada pakaian dijemur?” tanya seorang tetangga di kompleks
rumahku.
“Belum sempat dijemur,
Bu. Sabil tidak mau ditinggal.” Ucapku sambil tersenyum.
“Bu Farah ini kok
maunya repot sendiri. Apa tidak sayang, Bu? Sudah punya gelar sarjana pendidikan
tapi kok tidak dipakai untuk mengajar jadi guru. Pekerjaan rumah dan anak-anak
kan bisa dikasih ke asisten rumah tangga dan baby sitter, toh suami juga sudah jadi pengusaha sukses pasti bisa
menggajinya.” Timpal tetangga yang lain.
Aku tersenyum
mendengarnya. Bukan satu atau dua kali ini, ibu-ibu tetangga berkomentar
tentang keputusanku menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja sesuai gelar
sarjanaku.
“Bukan masalah uangnya
Bu, tapi memang ini keputusan saya sejak menikah dengan suami. Saya ingin
mengabdi kepada keluarga kecil saya dan bisa membahagiakan mereka.”
“Bu Farah jadi ibu
rumah tangga kok bangga, padahal masih muda. Saya saja ingin bekerja atau punya
usaha bisnis agar bisa dapat uang sendiri.”
Aku tidak menimpalinya
lagi, karena mereka biasa mengkritik keputusanku yang dianggapnya tidak wajar.
Seperti saat aku dan suamiku memasukan Ayas di Sekolah Alam, berbeda dengan
anak-anak mereka yang masuk SD negeri lainnya. Keputusan ini bukan karena kami
tak mengijinkan Ayas bermain dengan anak-anak mereka, toh sepulang sekolah
mereka juga bermain bersama. Karena menurut kami, usia Ayas masih usia bermain.
Jadi kami ingin Ayas belajar dan mengenal alam melalui berbagai kegiatan outdoor bukan terpaku belajar di dalam
kelas menghadap buku pelajaran.
“Bunda.. Bunda.., tante
kok buang sampahnya di sini?” tiba-tiba Sabil menarik bajuku sambil memungut
sampah plastik yang dibuang begitu saja oleh seorang tetanggaku.
Aku tersenyum dan
mengajak Sabil pulang, tidak ingin membuat malu tetanggaku. Memang, di rumah
Sabil terbiasa membuang sampah di tempatnya. Karena kebiasaan kami, orang tua,
dan kakaknya yang memberi contoh.
Ketika Sabil mulai
terlelap tidur, maka inilah waktuku untuk bergerilya menyelesaikan tugasku
membereskan rumah dan mandi dengan cepat sebelum Sabil terbangun.
“Kriiiing……..
Kriiiiiiiiiiing…………”
“Halo,
Assalam’alaikum.” Segera ku angkat telepon genggamku.
“Wa’alaikumus salam,
Farah. Minggu besok kamu di rumah tidak? Ibu sama Bapak ingin bertemu cucu-cucu
Ibu, kangen sekali rasanya.” Terdengar suara Ibuku di ujung telepon.
“Mengapa harus menunggu
hari Minggu, Bu. Setiap hari Farah juga di rumah, Bapak sama Ibu bisa datang
kapan saja.”
“Kamu belum bekerja
juga, Farah? Apa tidak kasihan kamu sama Bapakmu, sudah banyak biaya untuk
menyekolahkan sampai jadi sarjana tapi kamu hanya di rumah mengurus rumah
tangga? Kamu ini anak yang cerdas, dari dulu selalu jadi juara, mengapa tidak dipakai otak
encermu itu untuk mencari uang? Apa kamu sudah puas dengan penghasilan suamimu
sebagai pengusaha counter handphone
yang gajinya tidak tetap?”
Aku menghela nafas
panjang mendengarkan protes-protes dari Ibu yang sejak dulu mengimpikan anaknya
jadi pegawai dan menyandang status sosial lebih tinggi di masyarakat.
“Farah tidak tertarik
untuk menjadi pegawai, Bu.”
“Huh! Dasar anak keras
kepala!” Ibu masih mengomel dan menutup teleponnya.
Seketika kepalaku
terasa berdenyut-denyut dan terdengar hembusan nafas yang memburu. Hatiku
berontak mendengar semua kritikan-kritikan dari tetangga, terlebih ucapan Ibuku
yang begitu tajam. Aku hanya bisa menarik nafas panjang berharap beban di
hatiku ikut keluar, dibuang bersama gas racun karbondioksida.
“Bunda! Katanya mau
jemput tapi Ayas sudah menungggu lama tidak dijemput!” tiba-tiba Ayas masuk dan
melemparkan tasnya.
Entah kenapa melihat
Ayas yang ngambek membuat emosi tersulut dan ku lampiaskan kekesalan ini kepadanya.
“Ayas harus bisa
mengerti, Bunda itu capek banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum
mengurus Sabil yang rewel seharian. Ayas kan bisa pulang naik bus jemputan dari
sekolah, nggak harus selalu nunggu Bunda yang jemput!” Kataku agak keras.
“Tapi kan Bunda sudah
janji!” teriaknya sambil mendorong pintu dan pergi bermain.
Aku tak menghiraukannya
lagi ketika aku mendengar Sabil yang kembali merengek-rengek.
“Kamu kenapa sih Nak,
dari tadi rewel terus. Yang pinter lah, Bunda lagi pusing….” Ucapku mengeluh.
Aku tak tahan dengan
rengekan dan tangisan Sabil, akhirnya ku telepon suamiku. Tiga kali aku mencoba
menghubnginya namun tak ada jawaban. Emosiku semakin menjadi dan membuatku naik
pitam.
“Ayah kemana, kok
teleponnya nggak dijawab? Pokoknya Bunda nggak mau tahu, sekarang Ayah harus
pulang!” ku kirim sms kepadanya.
“Ada apa Bunda? Maaf
Ayah masih sibuk paling saju jam lagi baru bisa pulang.” Balas suamiku
kemudian.
“Bunda nggak mau
nunggu, Ayah harus pulang sekarang juga.”
“Ya.” Balasan singkat dari
suamiku.
Aku mondar-mandir tak
sabar menunggu kedatangannya sampai di rumah. Rasanya lama sekali dan aku coba
menelponnya ketika ku dengar suara mobil memasuki garasi.
“Kok lama sekali sih?”
Aku langsung menegurnya.
“Ada apa Bunda,
kayaknya ada yang penting sampai Ayah disuruh cepat-cepat pulang, tidak seperti
biasanya. Bunda kenapa?
“Kenapa… kenapa…. Bunda
itu capek Yah, mengurus rumah sendirian nggak ada yang membantu. Sabil juga
seharian rewel terus nggak mau ditinggal, Kakaknya juga pergi main sendiri
nggak mau mengajak adiknya. Coba kalau di rumah ada yang bantu-bantu, pasti
Bunda nggak repot begini.” Ucapku panjang lebar penuh kekesalan.
“Terus maunya Bunda
bagaimana? Ayah baru sampai rumah bukannya dibuatkan minum malah marah-marah.”
Ucap suamiku dengan nada meninggi.
“Ya Ayah pikirkan
gimana caranya biar Bunda nggak capek, memangnya semua harus Bunda yang
melakukan? Ayah sih enak, berangkat kerja sudah sarapan pulang kerja rumah dan
anak-anak juga sudah rapi. Nggak mikir gimana repotnya mengurus semua itu”.
“Kok jadi bawa-bawa
Ayah, memang salahnya dimana?
“Karena Ayah nggak mau
pengertian dan nggak kasihan sama Bunda!” aku membentak keras.
Mendengar nadaku yang
ketus, suamiku yang merasa dipojokkan juga tidak mau menerima begitu saja.
Akhirnya percekcokan pun terjadi, saling menyalahkan dengan nada yang tak enak
didengar. Tangisan Sabil semakin keras, dan ku lihat Ayas berdiri di depan
pintu dengan pakaiannya yang penuh lumpur, menunjukkan wajah yang bingung dan
takut.
“Ya sudah, silahkan
Ayah urus anak-anak!” kataku berlalu meninggalkan mereka.
Sambil menggerutu aku
masuk ke kamar dan merebahkan badan. Rasanya kepalaku semakin pusing dan hatiku
ingin berteriak, memberontak dengan semua yang telah aku jalani. Kali ini
pikiranku benar-benar jenuh dengan omongan semua orang, membuatku menyalahkan
suami dan anak-anakku. Aku membayangkan seandainya aku mengikuti semua ucapan Ibu
dan orang-orang, aku bekerja menjadi pegawai. Betapa senangnya bisa memiliki
karir dan menghasilkan uang sendiri, memiliki banyak kesempatan untuk mengobrol
santai dengan teman-teman tanpa harus memikirkan segala urusan di rumah dan
anak-anak.
Pikiranku yang melayang
kemana-mana akhirnya membuatku tertidur. Benar-benar tidur panjang yang sangat
pulas sampai aku tidak mendengar suara anak-anak dan ayam jago berkokok.
Mungkin efek terlalu capek atau karena tingkat kejenuhan yang memuncak sehingga
membuatku begitu malas untuk sekedar membuka mata.
Aku baru terbangun
ketika ku rasakan kehangatan di wajahku dan mataku yang silau karena sinar
matahari yang menerobos jendela kamar. Aku menggeliat dan membuka mata, betapa
kagetnya melihat suami sudah tidak ada di sampingku dan jarum jam menunjukkan
pukul tujuh. Aku segera meloncat dari tempat tidur menuju ke dapur.
“Selamat pagi, Bunda.
Semoga semalam mimpi indah dan sekarang siap menyambut hari baru yang lebih
baik.” Sapa suamiku yang ternyata sudah ada di dapur.
“Aa…yah, kok sudah
bangun? Maaf ya, Bunda bangunnya kesiangan jadi belum sempat memasak untuk
sarapan.”
“Sudah tak apa Bunda,
hari ini Ayah yang akan memasak untuk keluarga. Sebaiknya Bunda mandi dulu saja
biar lebih segar dan cantiknya juga keliahatan.”
“Iya, Bunda. Kakak saja
sudah wangi nih, Adik juga pintar nggak ngompol.” Tiba-tiba Ayas muncul dengan
pakaian seragamnya sambil menggendong Sabil yang sudah rapi.
Aku terkejut memandang
semua jagoan di rumahku yang tiba-tiba begitu rajin dan sudah rapi sepagi ini.
Aku mencium dan memeluk kedua anakku dan menatap suamiku penuh cinta. Kemudian
aku segera membersihkan badan, agar cepat dapat berkumpul bersama mereka.
“Bunda, kita sarapan
dulu ya? Ini Ayah sudah membuat nasi goreng telor ceplok kesukaan Bunda sebagai
menu sarapan kita dan nasi tim sayur untuk Sabil nanti.”
Aku tersenyum dan
terharu melihatnya, ada sedikit perasaan bersalah menyusup ke relung hatiku.
“Ayah, maafkan semua
kesalahan Bunda kemaren ya? Juga semua kata-kata kasar kepada Ayah, Bunda
sungguh menyesal telah mengucapkannya.”
“Seharusnya Ayah yang
minta maaf karena telah membiarkan Bunda mengurus rumah dan anak-anak seorang
diri. Mungkin lebih baik Ayah mencari asisten rumah tangga agar bisa membantu
Bunda, bagaimana?”
“Jangan Ayah, tidak
perlu. Bunda masih tetap pada prinsip di awal kita menikah bahwa mengurus
pekerjaan rumah dan anak-anak akan Bunda lakukan sendiri. Bunda ingin mengabdi
dengan penuh cinta setulus-tulusnya untuk kebahagiaan kita semua. Jika melihat
Ayah dan anak-anak sukses dan bermanfaat untuk orang lain, maka itu sudah cukup
sebagai obat lelah dan dahaga Bunda.”
“Baiklah Bunda, kalau
begitu Ayah berjanji bersama anak-anak untuk selalu menjadi pelangi disetiap
hari-hari Bunda agar bisa menghapus segala kesedihan dan kesusahan yang
dirasakan. Karena tanpa dukungan dan doa-doa Bunda untuk kita semua, maka kita
tidak akan pernah menjadi orang yang berharga. Benar begitu, Ayas?”
“Iya, Ayah. Karena
kesabaran Bunda untuk mengajari Ayas dan doa yang ikhlas akhirnya Ayas terpilih
untuk mengikuti lomba kejuaraan sains tingkat nasional tahun ini.”
Aku terkejut mendengar
ucapan Ayas dan baru mempercayainya setelah dia menunjukkan surat pemberitahuan
orang tua dari sekolah. Segera ku peluk dan ku cium anakku penuh rasa bangga
dan bahagia. Kebahagiaanku semakin tak terkira ketika suamiku juga memberikan
kejutan tiket liburan bersama keluarga yang diberikan oleh kantor pusat karena
prestasi kerjanya.
Kini aku berjanji untuk
tidak terpengaruh lagi dengan kritikan orang lain tentang statusku sebagai ibu
rumah tangga. Aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang utuh ketika melihat
kesuksesan suami dan anak-anakku, hal ini sudah cukup membayar segala rasa
capek, jenuh dan putus asaku dalam mengurus rumah tangga. Mereka benar-benar
menjadi pelangi dalam hidupku yang memberikan keindahan dan kebahagiaan.
***
NB. Terima kasih untuk sobat pelangi yang telah singgah dan berkenan untuk memberikan komentarnya.
Komentar
Posting Komentar