Bahagiakan Suami
Bahagiakan
Suami
Oleh:
Merlin Nursmila
Spontanitas.
Bagaimana rasanya berada dalam keadaan serba mendadak dan tak terduga? Pastilah
membutuhkan keterampilan dan kecepatan berpikir. Langkah apa yang akan
dilakukan dan bagaimana respon yang akan diberikan.
Sebelum
matahari menyapa, saya sudah berada pada kondisi yang tak terduga. Setelah
salat subuh berjamaah, saya dan suami bersantai sejenak. Menikmati segarnya
pagi hari dengan kemesraan.
Seperti
hasil pillow talk semalam, kami
sepakat untuk mempraktikan lima bahasa kasih bergantian. Dimulai dengan sentuhan
fisik, kata-kata yang mendukung, waktu berkualitas, memberi hadiah, dan
berakhir dengan aksi pelayanan. Kemudian diulangi kembali sampai kami menemukan
mana bahasa kasih masing-masing.
Sejak membuka
mata hari ini, saya sudah mencoba mempraktikannya. Memberikan sentuhan fisik
kepada suami. Hingga berujung pada respon sentuhan mesra darinya. Meski
sentuhan fisik tidak berati harus sampai dengan memberikan ‘hak’ suami.
Di akhir
moment istimewa inilah, ponakan yang berumur lima tahun terbangun dan mencari
saya, tantenya. Memang, sejak tahun ajaran baru dimulai, ponakan yang akan
masuk TK dititipkan di sini dengan simbahnya. Sedang kami masih tinggal serumah
dengan orang tua saya. Rumah sederhana yang belum memiliki dinding dan pintu
tetap sebagai penyekat antar ruang.
Sehari-hari,
dia lebih dekat dan hanya mau tidur dengan tante. Bangun tidur langsung mencari
tante. Dia menjadikan saya seperti ibunya yang harus selalu ada untuknya. Mau
tidak mau, saya pun mengubah pola hidup yang selama ini hanya dijalani ‘berdua’
saja dengan suami.
Membagi
waktu dalam memberikan perhatian dan mengaturnya lagi agar suami pun tidak
merasa diduakan. Belajar momong juga mengendalikan emosi agar sabar dalam menghadapi
ponakan dengan segala kecerdasan yang dimiliki anak usia lima tahun.
Pagi ini,
suami mendadak gemas dengan tingkah ponakan hingga nadanya agak tinggi. Saya
sendiri pun merasakannya, tapi masih bisa meredam untuk tidak menaikan intonasi
dalam berbicara dengan ponakan. Sesalnya, saya malah menegur suami dengan agak
keras karena takut orang tua mendengar.
Saya
mengikuti ponakan dan kembali menemaninya untuk melanjutkan tidur. Tak
berselang lama, saya kembali menemui suami. Meminta maaf dan memberanikan diri
untuk mendiskusikan apa yang baru saja terjadi.
Saya
duduk menempel, menatap matanya, dan memegang wajah suami. Tersenyum. Kemudian
keluarlah kata-kata dari mulut ini untuk meminta suami agar lebih bersabar.
Meminta tolong agar mau membantu saya untuk bisa mendampingi dalam mengasuh
ponakan. Memberikan perhatian yang tak didapat secara langsung dari kedua orang
tuanya. Anggap saja sebagai ajang melatih diri untuk momong, semoga Allah
segera memberikan momongan kepada kami.
Suami
tersenyum dan mengangguk setuju. Alhamdulillah, saya merasa lega dan
mengucapkan terima kasih dengan memberikan bonus kecupan di kedua pipinya.
Berjanji dalam diri untuk memberikan sentuhan lagi dan lagi sepanjang bertemu
dengannya hari ini. Semoga besok bisa lanjut pada bahasa kasih kata-kata yang mendukung.
Alhamdulillah, hari ini bisa mempraktikan bahasa kasih sentuhan fisik bersama suami. Saya pun sudah menebus ketidaknyamanan suami tadi pagi. Dia pun mengaku senang dan bahagia hari ini.
Akan tetapi, meski bahasa kasih ini menunjukan hasil, saya merasa cukup untuk komunikasi produktif tantangan kedua. Peristiwa tak terduga tadi pagi masih meninggalkan sesal karena sudah bernada keras pada suami. Bismillah, semoga saya tak mengulanginya lagi.
“Suami adalah laki-laki normal yang memiliki
hak dari bidadarinya. Maka, jadilah istri yang pandai mengatur waktu dan tetap
melaksanakan kewajibannya agar malaikat pun tak melaknat.”
#harike-2
#tantangan15hari
#zona1komprod
#pantaibentangpetualang
#institutibuprofesional
#petualangbahagia
#banyumasraya
#merlinnursmila
Komentar
Posting Komentar